Minggu, 09 Desember 2018

Cerpen: What is the World?


Assalamualaikum~~ 
Comel datang lagi di tengah-tengah sakit cacar melanda ugkh!!
tak sedap betol sakit bepantang ni tau -_-
tp tk pe lah, post cerpen yang dulu pernah juara di salah satu fanpage aje sebagai penghilang rasa boring karena di asingkan dari dunia luar, dulunya ini Fanfiction, tp udah di ganti nama dan beberapa tambahan dikit.. judulnya ttp sama.. 
apabila terdapat kesamaan nama tempat dll.. monmaap ya ini hanya fiksi belaka
silahkan di baca!


What is the World?


Ruang putih ini masih senyap dari kegaduhan yang biasanya terdengar. Masih sepi dan hanya menyisakan desis-desis halus dari nafas lelaki itu, suara AC dan detik-detik suara jam.
Tikk.. tokk.. tikk.. tokk..


Pagi itu aku berdiri ditepi tempat tidurnya. Ia bangun sembari mengusap wajah dan  menatap lurus dengan tatapan hambar kemudian kembali memulai aktifitasnya yang penuh dengan kesandiwaraan. Kepura-puraan. Mengenakan pakaian termahal dan bermerek. Jam tangan pilihan. Dasi pemberian Presiden. Mengendarai kendaraan ternama. Begitu dengan namanya yang dikenal dan di elu-elukan.
Kemudian berlalu, aku pun melihat ia duduk rapi dengan beberapa manusia-manusia bertopeng lainnya dengan penuh tawa membicarakan kenaikan keuangan Partai dan dukungan dari masyarakat yang tak tahu menahu dengan wajah asli mereka. Aku bisa melihat itu. Mereka sama saja dengan lelaki yang berada di sampingku. Karena lelaki ini, aku mengenakan topeng seperti. Aku adalah bentuk dari sebuah perasaan. Aku tak terlihat, tapi berada sosoknya.  
Lelaki yang duduk di samping ku tertawa gurih ketika mendengar sepersekian miliar dolar yang bisa mereka dapatkan. Mereka kaya. Aku tak tau seberapa menderita rakyat yang berhasil mereka tipu. Memperbudak dengan janji-janji manis semanis madu dengan puing-puing keadilan. Kesejahteraan. Kemakmuran. Kedamaian. Palsu!
“Tertarik Edward? bayangkan uangnya.” Bisik seorang lelaki pada tuan Ed, lelaki yang berada di samping ku, lelaki yang selalu ku ikuti, lelaki yang sebenarnya adalah diriku sendiri. Mereka kembali tertawa, Hah! munafik. Memang, aku tahu masih banyak manusia tak bertopeng dengan hati halus dan lembut bagai sutra yang lebih layak untuk memimpin negara. Tapi kenapa harus mereka yang bermuka dua yang selalu berhasil?
“Kalian sepertinya ingin sekali kalau aku ikut dalam proyek ilegal ini.” Edward bersuara. “Kami berpikir pemuda cerdas seperti mu pasti bisa membuat proyek ini berhasil tanpa sepengetahuan hukum.” Topeng mereka melekat. Berwajah kelinci di depan rakyat tapi berwajah musang dibelakang.
“Berapa persen?” Edward memangku dagunya dengan kedua tangan yang ia gepal di atas meja, ia tersenyum. Sontak mereka yang tertawa terhenti dan dengan sedikit ragu memandang sang ketua. “Kau pasti mendapatkan yang terbanyak Tuan Eddy.”
 “Iya.”
“Itu benar.”
“Iya iya.”
Mereka mengiyakan perkataan si ketua. Aku terkekeh begitu juga raga ku yang sebenarnya. Ia pun ikut terkekeh. Edward menatap mereka satu persatu dengan mata elangnya. “Mereka masih mengunakan topeng.” Aku berujar santai, walau aku tahu diri ku sendiri ini tidak mendengar apa yang ku ucapkan.
“Kalau begitu bagaimana kalau aku mendapatkan 83% dari hasil proyek?” Edward bersandar dikursinya, tersenyum 160 derajat. Sedangkan mereka terlihat keberatan dan menampakkan gelagat aneh. Edward kembali tertawa. “Tidak mau?” tanyanya.
“Kau tidak mungkin mendapatkan sebanyak itu Tuan Ed. Kau masih muda, bermain-mainlah sedikit dan biarkan kami yang sudah tua ini menikmati lebih. Kau belum menikah Edward. Sedangkan kami sudah memiliki anak.” Aku tertawa cukup keras, begitu juga dengan Edward.
“Kalian tidak malu memberi anak dan istri kalian uang hasil korupsi? Hahaha..” ku pandangi mereka. Wajah manusia-manusia ini memerah menahan marah, malu, kesal bercampur menjadi satu. Ku buka topeng yang selalu menutupi wajah ku yang tentu saja sama persis dengan wajah Edward. Hal yang aku benci, karena sebenarnya aku adalah bayangan dari bedebah ini.
 “Wolfgang Amadeus Mozart, George Friferic Handel, Georges Bizet. Kenal mereka?” sekarang mereka tampak aneh dengan gelangat takut ditanyai. Memandang satu sama lain seakan pekerjaan tokoh-tokoh itu tertera di wajah mereka. Edward tertawa meremehkan.
“Ah, mungkin tak penting bagi kalian. Hanya manusia-manusia yang berbakat dalam permainan opera di sebuah panggung.” Edward melambaikan tangannya. “Tapi menurutku, mereka manusia yang sangat luar biasa. Memang sandiwara kita tak bisa menggalahkan kecerdasan permainan opera mereka. Tapi bukankah kita akan melakukan yang terbaik? Ku kira kalian sudah sangat berbakat. Ekspresi tersenyum. Ramah. Baik hati. Ugh! Perfect!” Edward memainkan jamarinya. Ia menyatukan jari telunjuk kiri dengan ibu jari sebelah kanan dan telunjuk kanan dengan ibu jari sebelah kiri. Membentuk sebuah persegi panjang, seolah-olah ia sedang menyodorkan sebuah kamera.
Ku lihat mereka mengeram emosi, laki-laki ini memang memeras habis kesabaran mereka. “Sebaiknya kau menjaga ucapan mu dengan yang lebih tua, negara ini memiliki adab!” Salah satu dari mereka berseru dengan nada sebal. Edward tersenyum. “Oh! Itu kalian tahu kalau negara ini negara yang memiliki adab, tapi kenapa kalian sendiri yang tak memilikinya?” aku tertawa singkat mendengar penuturan lelaki ini.
“Kau harus ingat Eddy. Kalau kau melakukan sesuatu yang dapat merugikan kami, aku tak yakin kau pulang masih dengan nyawa mu.” Sang ketua berseru tenang, membuat Edward geram untuk sejenak. “Ehem, sepertinya Presiden ups ‘calon presiden jilid 2’ mengancam untuk menjulurkan pistolnya di kepala ku, benar begitu?” Edward mengusap kepalanya. Sang ketua hanya mengangkat bahu pelan.
“Ow, kalian kira aku tak membawa pistol? Aku selalu membawanya.”
“DORR!!” Edward mendadak berdiri dan mengacungkan sebuah pistol hitam dari saku jasnya, ia berseru seperti baru saja melepaskan sebuah tembakan. Membuat semua orang berteriak histeris. Sepersekian detik kemudian, lelaki ini tertawa terbahak-bahak. “You see that? Hahaha...” Edward berseru-seru tertawa dan memegangi perutnya. Lelaki ini memang melakukan sesuatu yang bukan dirinya.
BRAK!!
“Edward!” teriak mereka, menghentakkan telapak tangan dimeja. “Iya saya?” sahut Edward santai dan santun, kelima jarinya ia taruh di dada. Ketua memandang orang itu lalu mengangguk takzim.
“Ada apa dengan mu anak muda? Sudah ku katakan jika kau berhasil meloloskan proyek ini, kami akan memenangkan mu dipemilihan. Memperluar kekuasaan.” Sang ketua lagi-lagi tersenyum ramah. Tampaknya senyuman itu sudah lama ia gunakan untuk membuat rakyat mempercayainya, senyuman racun itu terlihat sangat bersahabat.
“Kalian yakin aku akan berhasil? Bukankah saingan ku duduk manis di seberang sana. Aku ragu kalian akan membantu ku menginggat dia lebih lama berkecimpung dan membantu kalian mendapatkan uang yang lebih banyak.” Aku suka gaya lelaki ini berbicara. Hingga senyap menyerang ruangan ini. Cukup lama.
 “Ah, membosankan. Kenapa kalian mendadak diam? Pak Antonius? Pak Rubin? Pak Azkar? Kalian tidak mau memberi argumen menarik kalian? Atau aku harus membayar agar memperlancar suara kalian? Barangkali kalian sedang sakit tenggorokan.”
“Kau terlalu senang bermain-main anak muda. Jika aku ingin, aku bisa merekayasa semuanya agar kau di eliminasi dalam pemilihan kali ini sebelum kampanye dimulai.” Semua yang duduk di sini tersenyum, topeng-topeng itu menyala seiring hancurnya hati mereka. Rusak kemanusiaan mereka.
“Ouh! Sebuah ancaman ya? Aku bukan si protagnis ataupun antagonis di cerita kita ini. Aku akan aku! Pantang bagi ku tak ikut bermain jika di ajak bermain.”
Senyap. Eddward mengambil rokok, menghidupkannya dan menyesapnya sekali.
“Pesawat FlyO2 513 X1 akan segera terbang jam 20.00 nanti bukan? Sedikit bayaran ku kira cukup untuk menghindari harga mahal yang akan negara ini bayar akibat ulah kalian esok lusa.”
“Apa maksudmu?” Ketua melotot. “Harga Murah. Kematian kru dan awak kabin pesawat, beberapa orang tak berdosa, kira-kira 160 orang dewasa dan 4 anak-anak dan 1 bayi. Oh! Ada salah satu anak yang aku kenal sekali. Dia memanggil ku sama seperti Ayahnya. Om Eddy panggilan kesayangan dia bilang.” Melihat reaksi Ketua, semuanya mengkerut kecuali lelaki di samping ku.
“Ahh, aku tahu ini akan terjadi. Dan pada akhirnya kalian pasti menyerang ku. Begitupun aku. Kalian tenang saja, semuanya kebagian! Korupsi. Pelecehan. Penipuan. Perselingkuhan. Bahkan pembunuhan. Semua kasus-kasus kalian tertata rapi di genggaman ku. Dan.., di ruangan mewah ini, terimasih banyak atas pembicaraan menarik yang ku dapatkan,” Edward menimang-nimang sebuah pena bergaris emas yang sebenarnya adalah sebuah alat perekam.
Aku tertawa dan segera mematahkan topeng yang selama ini menempel di wajah ku, membuat topeng penipuan ini terbelah menjadi dua bagian.
 “DORR!!” Edward lagi-lagi mempermainkan mereka, ia menekan pelatuk pistol hingga peluru air melecos keluar dari moncong pistol tersebut, hingga meja basah dibuatnya. Dan tentu semua yang duduk disana terkejut. “Hahahahahah...” tawanya lepas, ia pun mendorong kursi hingga terlentang jatuh dan menghilang di balik pintu besar hotel ini.
“Novotel Ambassador Xnira ruang 475 lantai 16.”
Aku tersenyum simetris. Ketika suara Edward terdengar sangat tegas ketika ia menelpon kepolisian yang bertugas menangkap mafia. Lelaki ini memang sangat sulit dipercaya. Ia mematikan telpon dan kembali menyambukkaan telpon dengan yang lain.
“Pesawat FlyO2 513 X1 penerbang jam 20.00.
Eksekusi.”
Dan pada akhir ini lah jawabannya. Dunia adalah sandiwara. Dunia adalah Opera dan kita adalah pelakunya. “World is the Opera”
_End_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar