Assalamualaikum~~
Comel datang lagi di tengah-tengah sakit cacar melanda ugkh!!
tak sedap betol sakit bepantang ni tau -_-
tp tk pe lah, post cerpen yang dulu pernah juara di salah satu fanpage aje sebagai penghilang rasa boring karena di asingkan dari dunia luar, dulunya ini Fanfiction, tp udah di ganti nama dan beberapa tambahan dikit.. judulnya ttp sama..
apabila terdapat kesamaan nama tempat dll.. monmaap ya ini hanya fiksi belaka
silahkan di baca!
What is
the World?
Ruang
putih ini masih senyap dari kegaduhan yang biasanya terdengar. Masih sepi dan
hanya menyisakan desis-desis halus dari nafas lelaki itu, suara AC dan
detik-detik suara jam.
Tikk..
tokk.. tikk.. tokk..
Pagi
itu aku
berdiri ditepi tempat tidurnya. Ia bangun sembari mengusap wajah dan menatap lurus dengan tatapan hambar kemudian kembali memulai
aktifitasnya yang penuh dengan kesandiwaraan. Kepura-puraan. Mengenakan pakaian
termahal dan bermerek. Jam tangan
pilihan. Dasi pemberian Presiden. Mengendarai kendaraan
ternama. Begitu dengan namanya
yang dikenal dan di elu-elukan.
Kemudian berlalu, aku pun melihat ia duduk
rapi dengan beberapa manusia-manusia bertopeng lainnya dengan penuh tawa membicarakan
kenaikan keuangan Partai dan dukungan dari masyarakat yang tak tahu menahu
dengan wajah asli mereka. Aku bisa melihat itu. Mereka sama saja dengan lelaki
yang berada di sampingku. Karena lelaki ini, aku mengenakan topeng seperti. Aku adalah bentuk dari
sebuah perasaan. Aku tak terlihat,
tapi berada sosoknya.
Lelaki
yang duduk di samping ku tertawa gurih ketika mendengar sepersekian miliar
dolar yang bisa mereka dapatkan. Mereka kaya. Aku tak tau seberapa menderita
rakyat yang berhasil mereka tipu. Memperbudak dengan janji-janji manis semanis
madu dengan puing-puing keadilan. Kesejahteraan. Kemakmuran. Kedamaian. Palsu!
“Tertarik
Edward? bayangkan uangnya.” Bisik seorang lelaki pada tuan Ed, lelaki yang
berada di samping ku, lelaki yang selalu ku ikuti, lelaki yang sebenarnya
adalah diriku sendiri. Mereka kembali tertawa, Hah! munafik. Memang, aku tahu
masih banyak manusia tak bertopeng dengan hati halus dan lembut bagai sutra
yang lebih layak untuk memimpin negara. Tapi kenapa harus mereka yang bermuka
dua yang selalu berhasil?
“Kalian
sepertinya ingin sekali kalau aku ikut dalam proyek ilegal ini.” Edward
bersuara. “Kami berpikir pemuda cerdas seperti mu pasti bisa membuat proyek ini
berhasil tanpa sepengetahuan hukum.” Topeng mereka melekat. Berwajah kelinci di
depan rakyat tapi berwajah musang dibelakang.
“Berapa
persen?” Edward memangku dagunya dengan kedua tangan yang ia gepal di atas
meja, ia tersenyum. Sontak mereka yang tertawa terhenti dan dengan sedikit ragu
memandang sang ketua. “Kau pasti mendapatkan yang terbanyak Tuan Eddy.”
“Iya.”
“Itu
benar.”
“Iya
iya.”
Mereka
mengiyakan perkataan si ketua. Aku terkekeh begitu juga raga ku yang
sebenarnya. Ia pun ikut terkekeh. Edward menatap mereka satu persatu dengan
mata elangnya. “Mereka masih mengunakan topeng.” Aku berujar santai, walau aku
tahu diri ku sendiri ini tidak mendengar apa yang ku ucapkan.
“Kalau
begitu bagaimana kalau aku mendapatkan 83% dari hasil proyek?” Edward bersandar
dikursinya, tersenyum 160 derajat. Sedangkan mereka terlihat keberatan dan menampakkan
gelagat aneh. Edward kembali tertawa. “Tidak mau?” tanyanya.
“Kau
tidak mungkin mendapatkan sebanyak itu Tuan Ed. Kau masih muda, bermain-mainlah sedikit dan
biarkan kami yang sudah tua ini menikmati lebih. Kau belum menikah Edward.
Sedangkan kami sudah memiliki anak.” Aku tertawa cukup keras, begitu juga
dengan Edward.
“Kalian
tidak malu memberi anak dan istri kalian uang hasil korupsi? Hahaha..” ku
pandangi mereka. Wajah manusia-manusia ini memerah menahan marah, malu, kesal
bercampur menjadi satu. Ku buka topeng yang selalu menutupi wajah ku yang tentu
saja sama persis dengan wajah Edward. Hal yang aku benci, karena sebenarnya aku adalah bayangan dari bedebah
ini.
“Wolfgang Amadeus Mozart, George
Friferic Handel, Georges Bizet. Kenal mereka?” sekarang mereka tampak aneh
dengan gelangat takut ditanyai. Memandang satu sama lain seakan pekerjaan tokoh-tokoh
itu tertera di wajah mereka. Edward tertawa meremehkan.
“Ah,
mungkin tak penting bagi kalian. Hanya manusia-manusia yang berbakat dalam
permainan opera di sebuah panggung.” Edward melambaikan tangannya. “Tapi
menurutku, mereka manusia yang sangat luar biasa. Memang sandiwara kita tak
bisa menggalahkan kecerdasan permainan opera mereka. Tapi bukankah kita akan
melakukan yang terbaik? Ku kira kalian sudah sangat berbakat. Ekspresi
tersenyum. Ramah. Baik hati. Ugh!
Perfect!” Edward memainkan jamarinya. Ia menyatukan jari telunjuk kiri
dengan ibu jari sebelah kanan dan telunjuk kanan dengan ibu jari sebelah kiri.
Membentuk sebuah persegi panjang, seolah-olah ia sedang menyodorkan sebuah kamera.
Ku
lihat mereka mengeram emosi, laki-laki ini memang memeras habis kesabaran
mereka. “Sebaiknya kau menjaga ucapan mu dengan yang lebih tua, negara ini
memiliki adab!” Salah satu dari mereka berseru dengan nada sebal. Edward
tersenyum. “Oh! Itu kalian tahu kalau negara ini negara yang memiliki adab,
tapi kenapa kalian sendiri yang tak memilikinya?” aku tertawa singkat mendengar
penuturan lelaki ini.
“Kau
harus ingat Eddy.
Kalau kau melakukan sesuatu yang dapat merugikan kami, aku tak yakin kau pulang
masih dengan nyawa mu.” Sang ketua berseru tenang, membuat Edward geram untuk
sejenak. “Ehem, sepertinya Presiden ups
‘calon presiden jilid 2’ mengancam untuk menjulurkan
pistolnya di kepala ku, benar begitu?” Edward mengusap kepalanya. Sang ketua hanya
mengangkat bahu pelan.
“Ow,
kalian kira aku tak membawa pistol? Aku selalu membawanya.”
“DORR!!”
Edward mendadak berdiri dan mengacungkan sebuah pistol hitam dari saku jasnya,
ia berseru seperti baru saja melepaskan sebuah tembakan. Membuat semua orang
berteriak histeris. Sepersekian detik kemudian, lelaki ini tertawa
terbahak-bahak. “You see that?
Hahaha...” Edward berseru-seru tertawa dan memegangi perutnya. Lelaki ini
memang melakukan sesuatu yang bukan dirinya.
BRAK!!
“Edward!”
teriak mereka, menghentakkan telapak tangan dimeja. “Iya saya?” sahut Edward santai dan santun, kelima jarinya ia taruh di dada. Ketua memandang orang itu lalu mengangguk takzim.
“Ada
apa dengan mu anak muda? Sudah ku katakan jika kau berhasil meloloskan proyek
ini, kami akan memenangkan mu dipemilihan. Memperluar
kekuasaan.” Sang ketua lagi-lagi tersenyum ramah.
Tampaknya senyuman itu sudah lama ia gunakan untuk membuat rakyat
mempercayainya, senyuman racun itu terlihat sangat bersahabat.
“Kalian
yakin aku akan berhasil? Bukankah saingan ku duduk manis di seberang sana. Aku
ragu kalian akan membantu ku menginggat dia lebih lama berkecimpung dan membantu kalian
mendapatkan uang yang lebih banyak.” Aku suka gaya lelaki ini berbicara. Hingga
senyap menyerang ruangan ini. Cukup lama.
“Ah, membosankan. Kenapa kalian mendadak diam?
Pak Antonius?
Pak Rubin? Pak Azkar? Kalian tidak
mau memberi argumen menarik kalian? Atau aku harus membayar agar memperlancar suara
kalian? Barangkali kalian sedang sakit tenggorokan.”
“Kau
terlalu senang bermain-main anak
muda. Jika aku ingin, aku bisa merekayasa semuanya agar kau di
eliminasi dalam pemilihan kali ini sebelum kampanye dimulai.” Semua yang duduk
di sini tersenyum, topeng-topeng itu menyala seiring hancurnya hati mereka.
Rusak kemanusiaan mereka.
“Ouh! Sebuah ancaman ya? Aku bukan si protagnis
ataupun antagonis di cerita kita ini. Aku akan aku! Pantang bagi ku tak ikut
bermain jika di ajak bermain.”
Senyap. Eddward mengambil rokok,
menghidupkannya dan menyesapnya sekali.
“Pesawat FlyO2 513 X1 akan segera terbang jam
20.00 nanti bukan? Sedikit bayaran ku kira cukup untuk menghindari harga mahal
yang akan negara ini bayar akibat ulah kalian esok lusa.”
“Apa maksudmu?” Ketua melotot. “Harga Murah. Kematian
kru dan awak kabin pesawat, beberapa orang tak berdosa, kira-kira 160 orang
dewasa dan 4 anak-anak dan 1 bayi. Oh! Ada salah satu anak yang aku kenal
sekali. Dia memanggil ku sama seperti Ayahnya. Om Eddy panggilan kesayangan dia
bilang.” Melihat reaksi Ketua, semuanya mengkerut kecuali lelaki di samping ku.
“Ahh,
aku tahu ini akan terjadi. Dan pada akhirnya kalian pasti menyerang ku. Begitupun aku. Kalian tenang saja, semuanya
kebagian! Korupsi. Pelecehan. Penipuan. Perselingkuhan.
Bahkan pembunuhan. Semua kasus-kasus kalian tertata rapi di genggaman ku. Dan..,
di ruangan mewah ini, terimasih banyak atas pembicaraan menarik yang ku
dapatkan,” Edward menimang-nimang sebuah pena bergaris emas yang sebenarnya
adalah sebuah alat perekam.
Aku
tertawa dan segera mematahkan topeng yang selama ini menempel di wajah ku,
membuat topeng penipuan ini terbelah menjadi dua bagian.
“DORR!!” Edward lagi-lagi mempermainkan
mereka, ia menekan pelatuk pistol hingga peluru air melecos keluar dari moncong
pistol tersebut, hingga meja basah dibuatnya. Dan tentu semua yang duduk disana
terkejut. “Hahahahahah...” tawanya lepas, ia pun mendorong kursi hingga
terlentang jatuh dan menghilang di balik pintu besar hotel ini.
“Novotel
Ambassador Xnira ruang 475 lantai 16.”
Aku
tersenyum simetris. Ketika suara Edward terdengar sangat tegas ketika ia
menelpon kepolisian yang bertugas menangkap mafia. Lelaki ini memang sangat
sulit dipercaya. Ia mematikan telpon dan kembali menyambukkaan
telpon dengan yang lain.
“Pesawat FlyO2 513 X1 penerbang jam 20.00.
Eksekusi.”
Dan
pada akhir ini lah jawabannya. Dunia adalah sandiwara. Dunia adalah Opera dan
kita adalah pelakunya. “World is the Opera”
_End_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar