Rabu, 06 Februari 2019

Cerpen : Pesan dari Hati


Assalamualaikum!!!
2019!!! cerpen manis buat pembaca *Aku hanya manusia biasa yang suka kadang menulis hal-hal manis seperti ini! Au!!*

silahkan di nikmati~


Pesan dari Hati

by: Safira Amalia

“Wah, Genara. Kamu itu Dokter tapi desain dekorasi weddingnya yang terbaik.”
Gadis itu membalas dengan senyuman. Tidak ada Arfat di sana, tapi ia merasakan debaran yang serupa. Kenapa mempelai wanita ini merasa bahagia sekali hanya dengan menunjukkan desain dekorasi weddingnya di gedung yang sedang mereka lihat sekarang.
Beberapa orang terlihat sibuk menata pondasi awal. Kursi-kursi di susun rapi. Meja bundar terlihat menawan. Altar pun sedang di bangun. Terlihat krasak-krusuk.
Ketua tim WO itu ikut tersenyum. “Dimana mempelai pria?”
Genara menggeleng sambil menunjukkan wajah jengkel. “Sibuk.” Putusnya singkat sebagai jawaban. “Tapi dia akan datang sebentar lagi.”
Mereka berjalan beriringan.
“Arfat itu suka sekali merah, sedangkan aku lebih suka ungu. Aku pikir akan bagus jika mawar merah sebagai hiasan sepanjang altar dan unggu soft akan terlihat menarik sebagai hiasan bunga di setiap sudut ruangan. Bagaimana menurut mu? Cocok sekali bukan dengan gaun putih?”
Perfect!” Genara sekali lagi tertawa. “Ayo tunjukkan pada ku bagian mana yang akan kau berikan sentuhan tambahan, selebihnya serahkan pada kami.”
“Aku hanya akan membantu, karena rumah sakit memberi libur hari ini. Aku putuskan untuk memuaskan hati di sini. Masalah desain tetap serperti yang aku sebutkan. Selebihnya aku percayakan pada mu.”
Genara mengangguk. sekali lagi memperhatikan sekeliling, ketika di rasa ada sesuatu yang menganjal, ia pamit dan pergi berkeliling untuk memeriksa setiap detil. Genara benci mengaku bahwa ia sangat bahagia dan ingin terlibat bahkan disetiap sudut pernikahan. Ia mendebarkan hal itu. Jika saja Arfat tahu mungkin sudah di olok-oloknya gadis itu.
Oh Ibu, sebentar lagi anak gadis mu akan menjadi milik laki-laki gila itu!! Dan sialnya aku bahagia sekali!
Gadis itu menutup mulut agar senyumnya tak terlihat oleh orang di sekitarnya. Bikin malu saja!
“Eh!! Tolong hati-hati.”
Hampir saja buket bunga yang akan di gantung terjatuh jika bukan Genara yang menyambutnya. Mendengus, semuanya harus sempurna! Pikirnya sedikit jengkel karena bunga tersebut hampir saja hancur dari ikatannya. “Biar aku saja.” putus gadis itu sembari menaiki tangga dan mengikat buket bunga berbentuk bundar di langit-langit pelaminan.
Dan entah di mulai dari mana, Genara akhirnya ikut krasak-krusus membantu. Kakinya tak tinggal diam, tak terasa bahwa betisnya sudah mulai keram karena kesana-kemari membantu yang lain. Sedangkan ketua tim WO yang menemaninya tadi sedang memeriksa beberapa dekorasi pilihan Genara yang datang di lobi hotel. Genara sesekali bahkan mengomel, entah sejak kapan gadis yang selalu terlihat manis di depan pasien tersebut begitu antusias yang cerewet terhadap pernikahannya. Ia bahwan membantu menyusun kursi, membantu melihat pemasangan lukisan. Menyususn bunga-bunga yang belum terangkai. Bahkan turut membantu yang sepatutnya tidak perlu di bantu.
“Itu tolong sedikit ke kiri, Pak. Nah! Begitu. Ok!”
“Eh! Yang di sana, bukan bunga yang itu, lihat yang bagian belakangnya kurang penuh bungannya, sini aku perbaiki.”
“Iya, yang itu untuk yang di kanan saja. Yang kiri pakai yang barusan aku rangkai.”
“Eh! Hati-hati pak. Pijakannya! Iya.”
Genara sedikit berlari ke arah seseorang yang sedang mengantung buket berikutnya. Yang hampir jatuh karena tidak memeperhatikan pijakan.
“Eh, Nona Genara.”
“Ya?” Genara terhenti. Memperhatikan seorang gadis yang mengenakan apron.
“Apakah menunya sudah tepat yang ini? apa ada tambahan lain?”
“Oh! Iya bener yang ini. Terima kasih ya, tolong buatkan yang enak. Jangan terlalu pedas. Dan jangan tambahkan kacang kedelai di menu apapun.”
“Baik, Nona.”
Lampu didalam gedung terlihat terang dan indah. Beberapa kali petugas bagian lighting menguji warna-warna lampu di langit-langit ruangan. Genara kembali krasak-krusuk kenan dan kekiri. Apakah kesibukannya itu sampai melihat hal terpenting dalam pernikahan pun ia tak menyadarinya?
“AHH!!”
Pekiknya kaget. Saat ia berjalan kekanan dengan kaki setengah berlari tiba-tiba seseorang menarik lengannya. Membuat pergerakan tubuh Genara terhenti. Dan tubuhnya tepat menghadap orang itu. Genara melotot memandangi seseorang yang sedang menyentuh lengannya dengan wajah cemas bercampur senang. “Wah! Aku melihat besar sekali cintanya Nona Genara kepada ku.”
Kondisikan warna pipi ku Tuhan!
Genara mengernyit. Memilih diam sambil melihat bawah. Malu sebenarnya.
“Tidak usah mengelak dan akui saja. Betapa antusiasnya mempelai ku.”
“Hentikan!” Genara mengigit bibir. Suara Arfat hampir terdengar orang-orang di sekitar mereka. “Percaya diri sekali!”
“Ketika melihat mu begini dengan wajah merah karena malu sangat terlihat lucu. Ayo mengaku cepat.”
“Tidak!”
“Cinta sekali ya Nona Genara?”
“Ih! Diam!”
“Ayo mengaku! Aku dengarkan dengan baik.” Genara semakin memerah.
“Perlu aku cium?”
Gadis itu semakin gelagapan. Ia menyentuh tangan lelaki itu yang masih menyentuh lengannya, bahkan setelah berkata tidak senonoh seperti tadi, lelaki itu bahkan menyentuh kedua lengannya dan mendekatkan tubuh Genara.
Mati aku! Mati kau! Mati aku!
“Jangan macam-macam, Tuan Pratama!!”
“Tidak rindu? Aku saja rindu! Kau merindukan yang waktu itu kan? Mau mencobanya di sini?”
APA MAKSUD PRIA INI??!!!! WAKTU ITU YANG MANA?!!
“ARFAT!”
“Ingat? Yang kemarin itu?”
Genara menutup mulut Arfat dan menariknya paksa dari dalam ruangan menuju keluar di tempat yang tidak dilihat orang. Pria ini harus siap di marahi habis-habisan. Lihat sekarang jantungnya berdebar tidak mengenal kendali. Genara geram. Super geram catat itu.
“HAHAHAHAHA!” Arfat terpingkal melihat reaksi Genara. Perutnya pedih dibuatnya. Tidak ada hal terbaik selain menggoda gadis ini. “Baik, tertawalah sepuas mu, Pak! Karena sebentar lagi aku akan memarahi mu!”
“Kemari, aduh! Aku tau sekali gadis ini marah. Tapi aku juga tau kau pasti rindu pada ku kan? Sini kemari mendekat pada ku.” Arfat mengusap sedikit air mata di sudut mata karena puas tertawa.
“Jangan berani-berani.”
Arfat tersenyum mendekat dan memeluk gadis itu dengan erat. Walau Genara awalnya tidak membalas namun dia juga tidak memberontak. Arfat memejamkan mata. Genara hanya diam walau masih dengan wajah kesalnya. Mereka berdua hanya diam, menikmati waktu yang sedikit sekali mereka nikmati bersama kahir-akhir ini. Arfat lebih memilih untuk menyampaikan pesan hatinya yang terdalam lewat pelukan dan kecupan manis di kening Genara. Tanpa kata. Karena dia yakin Genara akan mengerti pesan yang ia sampaikan barusan lewat pelukan yang pernuh rindu itu.

-end-

1 komentar: